Melangkah Maju: Mencegah KEK Berulang dan Membangun Keluarga Sehat Berkelanjutan

  1. Pentingnya Jarak Kehamilan dan Perencanaan Gizi Pra-Konsepsi: 

Jarak kelahiran merupakan faktor krusial yang memengaruhi kesehatan ibu dan janin. Penelitian Humairoh et al. (2023) mengkategorikan jarak kelahiran menjadi risiko tinggi (kurang dari 2 tahun) dan risiko rendah (lebih dari atau sama dengan 2 tahun). Kehamilan yang terlalu dekat dapat membahayakan ibu karena tubuh belum sepenuhnya pulih, serta menguras waktu dan tenaga ibu yang harus mengurus anak sebelumnya. Tuntutan ganda ini, ditambah peran sebagai ibu rumah tangga atau karyawan, sering kali membuat ibu mengabaikan pola istirahat dan makan, sehingga rentan mengalami anemia. Keterkaitan antara jarak kehamilan dan anemia selama kehamilan diperkuat oleh beberapa penelitian (Humairoh et al., 2023). 

Jarak kehamilan yang terlalu dekat, yaitu kurang dari dua tahun, dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin ibu karena organ reproduksi belum pulih sempurna untuk kembali menerima janin, sehingga memengaruhi penyerapan nutrisi baik untuk ibu maupun janin (Syarfaini et al., 2019). Kondisi ini diperparah oleh perubahan anatomi dan fisiologis tubuh selama kehamilan yang menyebabkan hemodilusi atau pengenceran darah, yang berkontribusi pada penurunan kadar hemoglobin (Revi & Hasanah, 2019). Lebih lanjut, jarak kehamilan yang kurang dari dua tahun sering dikaitkan dengan belum pulihnya uterus ke kondisi sebelum hamil, padahal ibu sudah kembali hamil (Namangdjabar et al., 2022). Akibatnya, kualitas janin dapat menurun dan kesehatan ibu terganggu karena tubuh tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri setelah kehamilan sebelumnya. Selain itu, trauma jalan lahir dari persalinan sebelumnya dapat menyebabkan stres pada ibu menjelang persalinan berikutnya, dan masalah kekurangan nutrisi juga sering muncul (Wijaya & Nur, 2021).

Sejalan dengan temuan tersebut, penelitian Gusnidarsih (2020) menunjukkan hubungan signifikan antara jarak kehamilan yang terlalu dekat dengan kejadian anemia klinis. Hal ini disebabkan kondisi ibu yang belum pulih optimal, sehingga pemenuhan kebutuhan asupan gizi selama kehamilan kurang optimal (Gusnidarsih, 2020). Penelitian lain oleh Baharika et al. (2023) bahkan menemukan bahwa jarak kehamilan kurang dari dua tahun meningkatkan risiko anemia hingga 11 kali lipat (OR 11,000). Oleh karena itu, jarak kehamilan kurang dari dua tahun sangat berisiko menyebabkan anemia, yang berdampak serius pada kesehatan ibu, janin, dan bayi yang dilahirkan. Memperhatikan jarak kehamilan menjadi sangat penting untuk mencegah anemia dan memastikan hasil kehamilan yang lebih baik (Baharika et al., 2023).

Perdarahan dalam 24 jam pertama persalinan, khususnya akibat Atonia Uteri, merupakan penyebab utama kematian ibu. Atonia Uteri terjadi ketika uterus tidak mampu berkontraksi dengan baik setelah plasenta lahir, sehingga pembuluh darah bekas tempat melekatnya plasenta tidak menutup sempurna dan menyebabkan perdarahan. Meskipun rahim atau uterus secara fisiologis mulai pulih enam bulan setelah melahirkan, fungsinya belum maksimal untuk menyediakan cadangan nutrisi optimal bagi ibu dan janin pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat mengakibatkan bayi mengalami gangguan nutrisi selama kehamilan, serta meningkatkan risiko komplikasi seperti kehamilan ektopik, plasenta previa, inersia uteri, atonia uteri, dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Ibu juga rentan mengalami masalah gizi dan anemia. Anemia saat hamil berisiko tinggi selama persalinan dan masa nifas, di mana uterus tidak berkontraksi maksimal sehingga memicu perdarahan (Purwanti & Trisnawati, 2016).

Mengetahui status gizi sebelum hamil sangat krusial untuk mengatasi masalah gizi yang dapat berdampak pada bayi yang akan lahir. Kekurangan Energi Kronis (KEK) sering dikaitkan dengan kurangnya pengetahuan gizi prakonsepsi. Beberapa penelitian mendukung adanya hubungan antara tingkat pengetahuan gizi dengan kejadian KEK pada wanita prakonsepsi. Penelitian lain juga menunjukkan prevalensi KEK terbanyak pada tingkat pendidikan SD, mengindikasikan adanya hubungan antara pengetahuan dan kejadian KEK pada wanita prakonsepsi berdasarkan tingkat pendidikan. Pengetahuan tentang bahan makanan, meski tidak secara langsung memengaruhi KEK, sangat berdampak pada perilaku dalam pemilihan dan pengolahan makanan. Meskipun konsumsi makanan tidak hanya dipengaruhi pengetahuan, interaksi antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sangat penting (Hubu et al., 2018).

Namun, ada penelitian yang menunjukkan hasil bertolak belakang. Nur et al. (2017) menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam pengetahuan gizi prakonsepsi antara responden KEK dan non-KEK. Hasil ini konsisten dengan penelitian Dwi & Jonni (2018) serta Arista et al. (2017), yang juga tidak menemukan hubungan antara pengetahuan dengan risiko KEK pada WUS (Arista et al., 2017). Pengetahuan gizi prakonsepsi yang tinggi tanpa diikuti perubahan perilaku nyata dalam keseharian dapat menjadi penyebab tidak adanya perbedaan tersebut. Pengetahuan yang baik belum tentu terwujud dalam tindakan nyata, karena implementasi pengetahuan dipengaruhi oleh ketersediaan sarana, fasilitas, kemampuan, dan dukungan keluarga (Nur et al., 2017).

Meskipun demikian, pengetahuan tetap merupakan hasil penginderaan yang membentuk pemahaman akan suatu objek. Ini menyiratkan bahwa sebagian besar wanita usia subur masih kurang informasi tentang KEK. Pengetahuan gizi memiliki peran penting dalam pemenuhan kecukupan gizi seseorang, karena tingkat pengetahuan yang baik akan mendorong kemampuan optimal dalam hal pengetahuan dan sikap (Dwi & Jonni, 2018). Oleh karena itu, upaya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan gizi sangat direkomendasikan, konseling gizi prakonsepsi, bahkan dengan pengulangan materi tiga kali dalam seminggu, terbukti mampu meningkatkan pengetahuan wanita secara signifikan. Media edukasi seperti leaflet yang mudah dimengerti tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memotivasi sikap yang mendukung pemenuhan gizi pada masa prakonsepsi (Lusyana & Abdul, 2019).

  1. Gaya Hidup Sehat untuk Seluruh Keluarga: 

Membangun gaya hidup sehat yang melibatkan seluruh anggota keluarga merupakan langkah fundamental dalam upaya meningkatkan kesehatan di tingkat rumah tangga. Penerapan pola hidup sehat yang efektif dapat dicapai melalui pendekatan partisipatif, di mana setiap anggota keluarga diajak untuk berkontribusi. Materi edukasi yang disampaikan mencakup prinsip gizi seimbang, pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta manfaat aktivitas fisik teratur. Dengan demikian, keluarga didorong untuk membiasakan konsumsi makanan kaya nutrisi seperti buah, sayuran, biji-bijian, protein, dan lemak sehat. Selain itu, kegiatan fisik sederhana seperti berjalan kaki, berlari, atau bersepeda juga dianjurkan secara rutin. Integrasi pengetahuan dan praktik ini secara kolektif akan meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan emosional seluruh anggota keluarga (Safnowandi, 2024).

Dukungan dari lingkungan terdekat, khususnya keluarga, memiliki pengaruh signifikan terhadap pola makan yang sehat dan beragam. Keragaman pangan pada ibu hamil sangat dipengaruhi oleh dukungan keluarga, pendapatan, dan ukuran keluarga. Meskipun studi ini spesifik pada ibu hamil, implikasinya meluas pada seluruh anggota keluarga: dukungan internal, terutama dari suami, berperan vital dalam menentukan kualitas pilihan makanan. Keluarga yang saling mendukung dapat menciptakan ekosistem rumah yang kondusif bagi pemilihan makanan bergizi, mendorong setiap individu untuk mengadopsi dan mempertahankan kebiasaan makan yang lebih baik secara konsisten (Aini & Zahariah, 2021).

Penanaman kebiasaan sehat sejak usia dini, yang difasilitasi oleh peran aktif orang tua, menjadi fondasi kuat dalam membentuk lingkungan rumah yang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat. Pemberdayaan orang tua sebagai agen utama sangat diperlukan untuk meningkatkan literasi kesehatan serta perilaku hidup bersih dan sehat pada anak usia dini. Penelitian tersebut menunjukkan hasil positif pada literasi kesehatan anak, seperti kebiasaan sarapan, membawa bekal buah atau sayur, berolahraga, dan asupan air yang cukup. Ini menegaskan bahwa melalui bimbingan dan teladan orang tua, kebiasaan makan sehat dapat ditanamkan sejak kecil, yang pada gilirannya akan memengaruhi gaya hidup gizi seluruh keluarga dalam jangka panjang (Luluk, 2025).

Pada akhirnya, dukungan keluarga terbukti menjadi faktor penentu yang signifikan dalam mencegah defisiensi gizi, termasuk anemia pada ibu hamil, dan relevan pula untuk kesehatan gizi seluruh rumah tangga. Hubungan kuat antara dukungan keluarga, pola makan, dan budaya dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi dan dukungan dari anggota keluarga dapat secara efektif membantu memastikan kecukupan asupan nutrisi. Dengan menumbuhkan budaya keluarga yang sadar gizi, di mana setiap anggota secara aktif terlibat dalam pemilihan dan persiapan makanan sehat, risiko kekurangan nutrisi dapat diminimalisir, menciptakan lingkungan rumah yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan bersama (Dewi et al., 2024).

  1. Belajar dari Pengalaman: Evaluasi dan Perbaikan Berkelanjutan:

Proses mengatasi Kekurangan Energi Kronis (KEK) selama kehamilan tidak berhenti saat status gizi membaik; justru, ini adalah awal dari perjalanan perbaikan berkelanjutan. Konsep evaluasi diri menjadi sangat relevan di sini, di mana ibu didorong untuk secara mandiri memantau asupan gizi mereka dan menyesuaikan strategi yang telah diterapkan. Pendidikan gizi berperan penting dalam memengaruhi perilaku. Dengan pemahaman yang baik, seorang ibu dapat mengevaluasi praktik gizi harian yang berhasil atau tidak efektif, serta membuat penyesuaian yang diperlukan untuk menjaga kesehatan jangka panjang. Kesadaran ini menjadi fondasi utama untuk terus mempraktikkan gizi yang baik dan mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan (Sulastijah et al., 2015).

Kemampuan untuk secara aktif mengelola kesehatan diri atau self-management adalah kunci dalam adaptasi gizi pasca-KEK. Edukasi gizi efektif dalam mengubah pola makan ibu hamil dalam upaya pencegahan KEK. Ini mengindikasikan bahwa ibu memiliki kapasitas untuk belajar dan mengadaptasi kebiasaan. Proses adaptasi ini secara inheren melibatkan evaluasi terhadap pola makan sebelumnya dan implementasi pola makan baru yang lebih baik. Dengan demikian, ibu dapat terus-menerus mengevaluasi asupan makanannya, mengidentifikasi tantangan yang mungkin muncul seiring perubahan kebutuhan tubuh, dan menyesuaikan strategi gizi mereka secara mandiri. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap perbaikan yang berkelanjutan (Fitriani et al., 2021).

Selain itu, pemahaman dan adaptasi terhadap pengetahuan gizi perlu terus-menerus diperbarui karena kebutuhan tubuh bersifat dinamis sepanjang siklus kehidupan. Pengetahuan gizi adalah faktor penting dalam mempersiapkan kehamilan. Setelah mengatasi KEK, seorang ibu harus terus memperbarui pengetahuannya tentang kebutuhan gizi yang berbeda, misalnya selama masa menyusui, atau di antara kehamilan berikutnya. Evaluasi berkelanjutan terhadap kebutuhan nutrisi tubuh yang berubah-ubah, serta kemampuan untuk menyesuaikan pola makan dan gaya hidup, adalah esensial. Dengan demikian, ibu tidak hanya berhasil keluar dari KEK, tetapi juga membangun fondasi gizi yang kuat dan adaptif untuk kesehatan dirinya dan keluarganya di masa mendatang (Paramata & Marselia, 2019).

  1. Peran Posyandu dan Fasilitas Kesehatan dalam Jangka Panjang:

Posyandu memegang peranan krusial sebagai garda terdepan dalam menjaga kesehatan dan memantau tumbuh kembang anak balita di tingkat komunitas. Posyandu secara aktif melaksanakan berbagai kegiatan esensial seperti pemberian imunisasi, penyuluhan gizi, penimbangan berat badan, dan pemberian makanan tambahan. Aktivitas-aktivitas ini dirancang untuk secara signifikan meningkatkan status gizi balita. Dengan demikian, Posyandu menjadi titik kontak utama bagi ibu dan bayi untuk mendapatkan layanan kesehatan preventif dan promotif secara berkelanjutan, membantu deteksi dini masalah gizi dan mencegah kondisi seperti KEK berulang pada ibu yang kemudian dapat memengaruhi tumbuh kembang anak (Aldita et al., 2019).

Peran kader di Posyandu juga sangat vital dalam memastikan pemantauan pertumbuhan anak balita berjalan efektif. Kader adalah pelaksana utama kegiatan Posyandu dengan pola lima meja. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kader memiliki peran penting dalam memantau pertumbuhan anak balita. Hal ini berarti ibu dan bayi dapat terus memanfaatkan kehadiran kader yang terlatih di Posyandu untuk pemantauan rutin, mendapatkan informasi, dan dukungan. Peran aktif kader memastikan bahwa setiap perubahan dalam tumbuh kembang anak dapat terdeteksi lebih awal, memfasilitasi intervensi tepat waktu, serta memberikan bimbingan gizi yang berkelanjutan kepada keluarga (Firdaushy et al., 2024).

Selain itu, program pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Puskesmas merupakan tulang punggung dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, serta mendukung kesehatan keluarga secara komprehensif. Puskesmas, sesuai Permenkes No. 75 Tahun 2014, berkewajiban menyelenggarakan program KIA baik secara promotif maupun preventif. Meskipun menghadapi tantangan, terutama saat pandemi, implementasi program KIA di Puskesmas tetap esensial. Ibu dan bayi dapat secara rutin mengakses layanan Puskesmas untuk imunisasi lengkap, konseling gizi, pemeriksaan kesehatan berkala, dan penanganan masalah kesehatan yang mungkin muncul, yang semuanya berkontribusi pada pencegahan KEK berulang dan pemeliharaan kesehatan keluarga secara menyeluruh (Hidayah & Rahaju, 2022).

Konseling gizi yang terintegrasi di fasilitas kesehatan memiliki dampak signifikan dalam meningkatkan pengetahuan dan asupan gizi, khususnya bagi ibu yang berisiko KEK. Konseling gizi berperan besar dalam meningkatkan pengetahuan dan asupan gizi ibu hamil KEK. Ini menekankan pentingnya layanan konseling gizi yang berkelanjutan yang dapat diakses ibu di Puskesmas atau Posyandu. Melalui konseling ini, ibu dapat terus mendapatkan informasi akurat dan personal mengenai kebutuhan gizi yang berubah pasca-persalinan, tips mengatasi tantangan gizi, serta pemahaman tentang bagaimana pola makan mereka memengaruhi kualitas ASI dan tumbuh kembang bayi. Dengan demikian, fasilitas kesehatan menjadi mitra strategis bagi keluarga dalam memastikan status gizi optimal dalam jangka panjang (Juliastuti et al., 2024).

  1. Stimulasi Dini dan Peran Gizi:

Perkembangan kognitif anak merupakan proses kompleks yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah stimulasi dan asupan gizi yang optimal. Perkembangan kognitif mengacu pada kemampuan mengingat, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Kemampuan ini memungkinkan anak untuk mengeksplorasi dunia di sekitarnya. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa perkembangan kognitif tidak terjadi secara otomatis, melainkan memerlukan dukungan yang memadai baik dari segi nutrisi maupun interaksi (Ifalahma & Retno, 2023).

Nutrisi yang memadai merupakan fondasi utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya perkembangan otak. Pemenuhan kebutuhan gizi dan nutrisi adalah faktor paling penting yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Gizi yang baik memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, serta kemampuan kerja pada tingkat yang optimal. Ini berarti bahwa tanpa asupan gizi yang cukup dan seimbang, potensi kognitif anak tidak dapat terwujud secara maksimal, sehingga menekankan keterkaitan erat antara kualitas nutrisi dan kapasitas berpikir (Juliana et al., 2022).

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sejak lahir hingga usia enam bulan merupakan investasi penting untuk perkembangan kognitif bayi. ASI mengandung semua unsur zat gizi dan nutrisi yang dibutuhkan bayi, termasuk hormon yang esensial untuk pertumbuhan otak. ASI eksklusif sangat memengaruhi perkembangan dan fungsi kognitif di usia selanjutnya karena masa pertumbuhan sel otak yang tercepat terjadi pada usia 0-6 bulan. Kandungan nutrisi lengkap dalam ASI membantu optimalisasi kecerdasan anak, menjadikannya pondasi nutrisi terbaik bagi perkembangan kognitif yang optimal (Salma & Septiana, 2022).

Lebih lanjut, dampak ASI eksklusif terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah juga telah terbukti. ASI eksklusif sangat memengaruhi perkembangan dan fungsi kognitif di usia selanjutnya. Kognitif, sebagai proses berpikir yang meliputi kemampuan menilai, mempertimbangkan, dan menghubungkan peristiwa, secara langsung berkaitan dengan tingkat kecerdasan. Penelitian ini memperkuat argumen bahwa nutrisi yang diberikan sejak awal kehidupan melalui ASI memiliki efek jangka panjang pada kemampuan kognitif anak hingga usia prasekolah (Radjah et al., 2023).

Di samping gizi, stimulasi dini melalui interaksi dan bermain juga sangat penting untuk merangsang perkembangan kognitif. Meskipun fokus pada sosial emosional, stimulasi interaktif seperti berbicara dan bermain secara langsung merangsang otak dan membentuk koneksi saraf yang mendukung fungsi kognitif. Interaksi ini membantu anak memahami dunia sekitar dan membangun dasar keterampilan berpikir (Rofi’ah et al., 2022).

Hubungan antara status gizi dan perkembangan balita juga diperkuat oleh data di lapangan. Hubungan antara status gizi dengan pertumbuhan dan perkembangan balita usia 1-3 tahun. Data prevalensi keterlambatan perkembangan motorik dan masalah gizi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa status gizi yang baik menjadi prasyarat penting bagi perkembangan yang optimal. Artinya, jika status gizi terganggu, potensi perkembangan, termasuk kognitif, akan terhambat (Setiawati et al., 2020).

Pentingnya pemenuhan gizi yang tepat sejak awal kehidupan juga ditekankan dalam konteks karakteristik perkembangan anak usia sekolah dasar. Perkembangan anak berlangsung sangat cepat pada kelompok usia ini, mencakup berbagai aspek seperti kognitif, fisik, emosi, bahasa, sosial, agama, dan moral. Kualitas perkembangan di usia ini sangat bergantung pada fondasi yang dibangun sejak bayi, termasuk asupan gizi yang memadai. Dengan kata lain, gizi yang baik selama masa bayi dan balita menciptakan "modal" yang mendukung percepatan perkembangan kognitif di usia sekolah dasar (Syahriani & Santoso, 2024).

Singkatnya, perkembangan kognitif bayi adalah hasil interaksi kompleks antara asupan gizi yang memadai dan stimulasi dini yang konsisten. Pencegahan KEK pada calon ibu, mengindikasikan bahwa pengetahuan gizi memengaruhi praktik. Dengan pemahaman yang baik tentang pentingnya nutrisi dan stimulasi, orang tua dapat secara proaktif menyediakan lingkungan yang kaya akan keduanya. Gizi yang baik menyediakan "bahan bakar" bagi otak yang sedang berkembang pesat, sementara stimulasi melalui berbicara, bermain, dan interaksi lainnya membantu membangun "struktur" dan "koneksi" saraf yang esensial untuk fungsi kognitif yang optimal. Kedua elemen ini saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan dalam mendukung potensi perkembangan maksimal seorang anak (Irsyad, 2023).

Referensi:

Aini, N. & Zahariah, S. (2021) ‘Pengaruh Peran Keluarga terhadap Keragaman Pangan Ibu Hamil di Puskesmas Sukowono, Kabupaten Jember’, Jurnal Kesehatan, 9(3), pp. 132–139. doi:10.25047/j-kes.

Aldita, Dangnga, S.M. & Magga, E. (2019) ‘The Role of Posyandu in Increasing Nutrition Status in the Working Areas of Health Center Madising Na Mario City of Parepare’, Jurnal Ilmiah Manusia dan Kesehatan, 2(2), pp. 250–259. Available at: http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/makes.

Arista, A.D., Widajanti, L. & Aruben, R. (2017) ‘Hubungan Pengetahuan,Sikap,Tingkat Konsumsi Energi, Protein, dan Indeks Massa Tubuh/Umur dengan Kekurangan Energi Kronik pada Remaja Putri (Studi di Sekolah Menengah Kejuruan Islamic Centre Baiturrahman Semarang pada Puasa Ramadhan Tahun 2017)’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(4), pp. 585–591. Available at: http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm585.

Baharika, S.D.A., Dyah, W.K.K. & Dewi, N.S. (2023) ‘Analisis Faktor Karakteristik Ibu Hamil dengan Anemia’, PROMOTOR, 6(2), pp. 67–72. doi:10.32832/pro.

Dewi, R., Kurnia Dewi, M. & Mardiyah, S.M. (2024) ‘Hubungan Dukungan Keluarga, Pola Makan dan Budaya dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil’, Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 6(5), pp. 2197–2206. Available at: http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP.

Dwi, A. & Jonni, S.R.P. (2018) ‘Hubungan Pengetahuan, Sikap, Asupan Energi dan Protein Terhadap Risiko Kurang Energi Kronik (KEK) pada Wanita Usia Subur di Desa Hibun Kabupaten Sanggau’, Pontianak Nutrition Journal (PNJ), 01(01), pp. 36–39. Available at: http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/PNJ.

Firdaushy, N., Puspita, M. & Widiawati, S. (2024) ‘Peran Kader dalam Pemantauan Pertumbuhan Anak Balita di  Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Pakuan Baru Jambi Tahun 2022’, Jurnal Kesehatan Mahardika, 11(1), pp. 7–13. doi:10.54867/jkm.v11i1.197.

Fitriani et al. (2021) ‘Literature Review Hubungan Pengetahuan dengan KEK pada Wanita Prakonsepsi’, In CALL FOR PAPER SEMINAR NASIONAL KEBIDANAN , pp. 196–204.

Gusnidarsih, V. (2020) ‘Hubungan Usia dan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Anemia Klinis Selama Kehamilan’, Jurnal Asuhan Ibu dan Anak, 5(1), pp. 35–40.

Hidayah, U.R. & Rahaju, T. (2022) ‘Implementasi Program Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (Kia) di Puskesmas Dupak Kecamatan Krembangan Kota Surabaya’, Publika, 10(4), pp. 1317–1330.

Hubu, N., Nuryani & Yanti, H.H. (2018) ‘Pengetahuan, Asupan Energy dan Zat Gizi Berhubungan dengan Kekurangan Energy Kronis pada Wanita Prakonsepsi’, Gorontalo Journal of Public Health, 1(1), pp. 15–23.

Humairoh, M., Hamid, S.A. & Amalia, R. (2023) ‘Hubungan Pengetahuan, Jarak Kehamilan, dan Paritas dengan Kejadian Kekurangan Energi Kronik (KEK) di Puskesmas Muara Burnai Kecamatan Lempuing Jaya Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2022’, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 23(2), p. 2101. doi:10.33087/jiubj.v23i2.3148.

Ifalahma, D. & Retno, M.Z. (2023) ‘Faktor Perkembangan Motorik dan Perkembangan Kognitif  Anak: Literature Review’, Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 11(3), pp. 707–714.

Irsyad, S. (2023) ‘Perkembangan Kognitif dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran’, Tafhim Al-‘Ilmi : Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 14(2), pp. 234–246.

Juliana, E., Nataliningsih & Aisyah, I. (2022) ‘Pemenuhan Kebutuhan Gizi dan Perkembangan Anak’, Sadeli: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat , 2(1), pp. 11–19.

Juliastuti, D., Suaib, F. & Sukmawati (2024) ‘The Role of Nutrition Counselling In Improving Knowledge and Nutritional Intake of Pregnant Women with Chronic Energy Deficiency (CHD)’, Media Gizi Pangan, 31(2), pp. 222–231.

Luluk, A. (2025) ‘Peran Orangtua untuk Meningkatkan Literasi Kesehatan dan Perilaku Hidup Bersih Sehat Anak Usia Dini’, Kalam Cendekia: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 13(2), pp. 1173–1179.

Lusyana, G.D. & Abdul, M.S. (2019) ‘Pengaruh Konseling Gizi Prakonsepsi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Wanita Pranikah di Kecamatan Batang Kuis.’, Wahana Inov, 8(1), pp. 63–73.

Namangdjabar, O.L., Weraman, P. & Mirong, I.D. (2022) ‘Faktor Risiko Terjadinya Anemia pada Ibu Hamil’, Journal of Telenursing (JOTING), 4(2), pp. 568–574. doi:10.31539/joting.v4i2.4252.

Nur, I., Umisah, A. & Intan Puspitasari, D. (2017) ‘Perbedaan Pengetahuan Gizi Prakonsepsi dan Tingkat Konsumsi Energi Protein pada Wanita Usia Subur (WUS) Usia 15-19 Tahun Kurang Energi Kronis (KEK) dan Tidak Kek di SMA Negeri 1 Pasawahan’, Jurnal kesehatan, 10(2), pp. 23–36.

Paramata, Y. & Marselia, S. (2019) ‘Kurang Energi Kronis pada Wanita Usia Subur di Wilayah Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo.’, Gorontalo Journal of Public Health, 2(1), pp. 120–125.

Purwanti, S. & Trisnawati, Y. (2016) ‘Pengaruh Umur dan Jarak Kehamilan Terhadap Kejadian Perdarahan Karena Atonia Uteri                      Effect of Maternal Age and Spacing of Pregnancy To Postpartum Hemorrhage Because of Atonic Uterine’, Bidan Prada, pp. 1–7.

Radjah, W.N.S. et al. (2023) ‘Pemberian Asi Eksklusif Terhadap Perkembangan Kognitif pada Anak Usia 4-6 Tahun’, J. Midwifery Health Sci. Sultan Agung, 2(2), pp. 8–17. doi:10.30659/jmhsa.v2i2.41.

Revi, J.S. & Hasanah, N. (2019) ‘Determinan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Puskesmas Tunggakjati Kecamatan Karawang Barat Tahun 2019’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3(2), pp. 179–192. Available at: http://ejournal.urindo.ac.id/index.php/jukmas.

Rofi’ah, U.A., Hafni, N.D. & Mursyidah, L. (2022) ‘Sosial Emosional Anak Usia 0-6 Tahun dan Stimulasinya Menurut Teori Perkembangan’, Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies, 3(1), pp. 41–66. doi:10.15575/azzahra.v3i1.11036.

Safnowandi, S. (2024) ‘Implementasi Pola Hidup Sehat Berbasis Keluarga’, Nuras : Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(4), pp. 165–169. doi:10.36312/nuras.v4i4.322.

Salma, F.S. & Septiana (2022) ‘Pengaruh Pemberian Asi Ekslusif 0-6 Bulan Bagi Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini’, PROSIDING  Loka Karya Pendidikan Islam Anak Usia Dini IAIN Ponorogo  “Gizi untuk Anak Usia Dini” Tahun 2022 , pp. 1–9.

Setiawati, Yani, R.E. & Rachmawati, M. (2020) ‘Hubungan Status Gizi dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Balita 1-3 Tahun’, Holistik Jurnal Kesehatan, 14(1), pp. 88–95.

Sulastijah, S., DW, S. & Helmyati, S. (2015) ‘Pengaruh Pendidikan Gizi dalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan  Konsumsi Zat Besi Melalui Kelas Ibu Hamil’, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 12(2), pp. 79–87.

Syahriani, N. & Santoso, S. (2024) ‘Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar dan Implikasinya dalam Pembelajaran’, Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 7(2), pp. 131–140. Available at: http://journal.unismuh.ac.id/index.php/jrpd.

Syarfaini et al. (2019) ‘Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Raya Kota Makassar’, Al-sihah: The Public Health Science Journal, 11(2), pp. 143–155.

Wijaya, I. & Nur, H. (2021) ‘Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja  Puskesmas Mamajang Kota Makassar  Risk Factors for Anemia in Pregnant Women in the Working Area of Mamajang Health Center,  Makassar’, Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia , 4(1), pp. 92–96. doi:10.31934/mppki.v2i3.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bebas KEK, Hamil Sehat, Lahirkan Generasi Kuat: Langkah Tepat Nutrisi Ibu Hamil

Resep Sehat dan Tinggi Energi untuk Ibu Hamil dengan KEK (Budget-Friendly!)